Aku
buka mata untuk melihat seperti apa dunia itu, seperti apa matahari itu,
seperti apa bulan itu, seperti apa cahaya matahari yang digantikan cahaya bulan
itu, seperti apa cara malam menggantikan siang. Tapi aku sendiri tak tau siapa
aku?
Seperti
orang – orang dengan logat jawanya, terlalu sering aku dengar kebisingan bahasa
– bahasa asing, orang menanyakanku akan kemanakah aku pergi, namun aku tak bisa
menjawabnya, bukan karena aku tak sanggup menjawab dengan logat sundanya karena
aku memang tidak tahu kemana aku akan pergi.
Teringat
bagaimana dulu aku membuka buku itu mencari ditumpukan buku - buku tebal menyebalkan
itu, debu – debu yang menyelimutinya seakan mencegahku untuk menyentuhnya namun
tetap tak teringat bagaimana caraku mencari jati diriku, lalu.. siapa aku?
Bima
disamping jendela dengan tatapan kosong penuh keseriusan itu berkata “kamu yang
pertama” aku pun juga berkata sama “kamu yang pertama”. Semacam orang polos
yang mengetahui hal baru aku berpikir, inikah suatu kebahagiaan kecil? Atau
bahkan besar? Sama sekali tak terhempas dibenakku, apakah ini suatu luka?
Sayatan luka besar. Sang nenek berkata bahwa manusia itu tak selayaknya berburuk
sangka, mungkin itu yang membuatku tak pernah menyangka bahwa itu sebuah luka,
yang kutahu hanya orang yang membuatku bahagia.
Sampai
aku berpikir kenapa kebahagiaan ini mengijinkan mereka keluar dari kedua bola
mataku. Mereka yang terus menerus mengalir tak tahu malu, membasahi jalur-jalur
mata dan membuat garis basahan dipipi. Terdefinisasikan bahwa sebuah
kebahagiaan itu membuat siapapun yang mengalaminya menjadi selemah ini.
Petuah-petuah yang datang menyebutkan itu sebuah luka, bukan kebahagiaan tapi
sebuah luka. Egoisku menyimpulkan tidak ada kebahagiaan yang selama ini aku
pikir, yang ada hanya luka.
“Aku
tidak akan sepertinya” jelas Arsandi menenangkanku. “Kebahagiaan itu ada”
bantah dia mengetahui pendapatku. Kembali membuatku berpikir bahwa kebahagiaan
itu memang ada. Lalu bagaimana arti luka
yang sudah terbenam didiriku ? Luka waktu itu.
Dewasaku
berpikir bahwa optimis diri membutuhkanku untuk membangun diriku lagi, namun
seperti biasa, aku tak tahu bagaimana membangun diriku lagi. Seperti halnya
manusia dipersimpangan jalan yang tak tahu harus kemana aku akan pergi, entah
belok kiri ataukah belok kanan, atau bahkan lurus saja yang sudah jelas
terlihat mata, yang kutahu hanya aku tak boleh berhenti walaupun tak ada jalan
lagi didepan sana. Lebih baik aku mundur daripada aku memutuskan untuk
berhenti. Selayaknya manusia yang ditakdirkan untuk menjalani kodratnya di
dunia ini. Dihadapkan dengan berbagai pilihan, dan manusia hanya bisa memilih
jalannya sendiri, tidak boleh berhenti.
Seperti
itulah aku selama ini mencoba menjalani hidup yang telah kupilih sendiri, aku
tak boleh berhenti tapi aku tak tahu bagaimana cara meneruskannya, ketika
manusia dipersimpangan jalan itu menemukan puncak terang melihat cahaya bulan,
cahaya bintang, dan bagaimana cahaya bulan menggantikan cahaya matahari.
Manusia dipersimpangan itulah diriku yang menemukan arti bahwa sesungguhnya
bulan tidak bisa memancarkan cahayanya sendiri melainkan memantulkan cahaya
matahari. Bulan dan matahari tampak harmonis, dan keharmonisan itu
menyadarkanku atas jati diriku, jati diri yang tak pernah seorangpun mengerti
betul tentang diriku. Jati diriku hanya aku dan Tuhan yang tau. Dan sampai aku
menuliskan kalimat terkahir di ceritaku ini bahwa “kebahagiaan adalah disaat
kita dapat merasakan lika-liku kehidupan, dan dapat bangkit lagi menjadi diri
sendiri”.
-ZULFA
HAYYU SAKINAH-
0 komentar:
Posting Komentar