Rabu, 06 Maret 2013

kebahagiaan yang tersembunyi


Aku buka mata untuk melihat seperti apa dunia itu, seperti apa matahari itu, seperti apa bulan itu, seperti apa cahaya matahari yang digantikan cahaya bulan itu, seperti apa cara malam menggantikan siang. Tapi aku sendiri tak tau siapa aku?
Seperti orang – orang dengan logat jawanya, terlalu sering aku dengar kebisingan bahasa – bahasa asing, orang menanyakanku akan kemanakah aku pergi, namun aku tak bisa menjawabnya, bukan karena aku tak sanggup menjawab dengan logat sundanya karena aku memang tidak tahu kemana aku akan pergi.
Teringat bagaimana dulu aku membuka buku itu mencari ditumpukan buku - buku tebal menyebalkan itu, debu – debu yang menyelimutinya seakan mencegahku untuk menyentuhnya namun tetap tak teringat bagaimana caraku mencari jati diriku, lalu.. siapa aku?
Bima disamping jendela dengan tatapan kosong penuh keseriusan itu berkata “kamu yang pertama” aku pun juga berkata sama “kamu yang pertama”. Semacam orang polos yang mengetahui hal baru aku berpikir, inikah suatu kebahagiaan kecil? Atau bahkan besar? Sama sekali tak terhempas dibenakku, apakah ini suatu luka? Sayatan luka besar. Sang nenek berkata bahwa manusia itu tak selayaknya berburuk sangka, mungkin itu yang membuatku tak pernah menyangka bahwa itu sebuah luka, yang kutahu hanya orang yang membuatku bahagia.
Sampai aku berpikir kenapa kebahagiaan ini mengijinkan mereka keluar dari kedua bola mataku. Mereka yang terus menerus mengalir tak tahu malu, membasahi jalur-jalur mata dan membuat garis basahan dipipi. Terdefinisasikan bahwa sebuah kebahagiaan itu membuat siapapun yang mengalaminya menjadi selemah ini. Petuah-petuah yang datang menyebutkan itu sebuah luka, bukan kebahagiaan tapi sebuah luka. Egoisku menyimpulkan tidak ada kebahagiaan yang selama ini aku pikir, yang ada hanya luka.
“Aku tidak akan sepertinya” jelas Arsandi menenangkanku. “Kebahagiaan itu ada” bantah dia mengetahui pendapatku. Kembali membuatku berpikir bahwa kebahagiaan itu memang ada. Lalu bagaimana  arti luka yang sudah terbenam didiriku ? Luka waktu itu.
Dewasaku berpikir bahwa optimis diri membutuhkanku untuk membangun diriku lagi, namun seperti biasa, aku tak tahu bagaimana membangun diriku lagi. Seperti halnya manusia dipersimpangan jalan yang tak tahu harus kemana aku akan pergi, entah belok kiri ataukah belok kanan, atau bahkan lurus saja yang sudah jelas terlihat mata, yang kutahu hanya aku tak boleh berhenti walaupun tak ada jalan lagi didepan sana. Lebih baik aku mundur daripada aku memutuskan untuk berhenti. Selayaknya manusia yang ditakdirkan untuk menjalani kodratnya di dunia ini. Dihadapkan dengan berbagai pilihan, dan manusia hanya bisa memilih jalannya sendiri, tidak boleh berhenti.
Seperti itulah aku selama ini mencoba menjalani hidup yang telah kupilih sendiri, aku tak boleh berhenti tapi aku tak tahu bagaimana cara meneruskannya, ketika manusia dipersimpangan jalan itu menemukan puncak terang melihat cahaya bulan, cahaya bintang, dan bagaimana cahaya bulan menggantikan cahaya matahari. Manusia dipersimpangan itulah diriku yang menemukan arti bahwa sesungguhnya bulan tidak bisa memancarkan cahayanya sendiri melainkan memantulkan cahaya matahari. Bulan dan matahari tampak harmonis, dan keharmonisan itu menyadarkanku atas jati diriku, jati diri yang tak pernah seorangpun mengerti betul tentang diriku. Jati diriku hanya aku dan Tuhan yang tau. Dan sampai aku menuliskan kalimat terkahir di ceritaku ini bahwa “kebahagiaan adalah disaat kita dapat merasakan lika-liku kehidupan, dan dapat bangkit lagi menjadi diri sendiri”.

-ZULFA HAYYU SAKINAH-